Setelah kerja di perusahaan kereta api di Comal, pemuda dari Batang, Jawa Tengah ini mendaftar jadi anggota Koninklijk Marine (KM) atau Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Awalnya dia dididik di Kweekschool voor Indische Schepelingen van de Koninklijke Marine (KIS) di Makassar, lalu dia ditempatkan di kapal perang Belanda dengan pangkat Kelasi Kelas Tiga.
Namanya Lawi Soemodihardjo, lahir tahun 1900 di Batang. Ayahnya mandor, jadi dia bisa sekolah formal dan lulus SD berbahasa Belanda, sehingga diterima di KIS. Selama dinas di KM, Lawi pernah tinggal di Jagalan nomor 41, Surabaya. Dia merasa ada perbedaan mencolok antara orang kulitnya dan yang lebih putih.
“Karena perbedaan nasib yang jelas antara keturunan Eropa dan Inlander, di kalangan anak Marine di Koninklijk Marine (KM) di Hindia Belanda, ide untuk memperbaiki nasib anak marine pribumi diusulkan dengan membentuk Inlandsch Marine Bond,” kata Lawi dalam riwayatnya pada 20 Mei 1973, yang kemudian masuk arsip Anton Lucas.
Pada 25 Mei 1925, di rumah Lawi di Jagalan 41, ada pertemuan dengan 24 temannya dari KM. Mereka –10 orang dari Jawa, 5 orang dari Minahasa-Sangir, 5 orang dari Ambon, 3 dari Timor, dan 2 dari Sumatra-Batak– setuju untuk mendirikan Inlandsch Marine Bond (IMB).
Di jajaran pengurus IMB, J. Walandauw dari Manado jadi ketua, Bakri dari Pasundan jadi wakil ketua, dan Supardi dari Madura jadi bendahara. Lawi sendiri jadi sekretarisnya.
Namun Lawi gak lama di IMB. Setelah pemberontakan PKI di Banten pada November 1926, Lawi ditahan karena dicurigai terlibat. Tapi karena tidak ada bukti keterlibatannya, dia dibebaskan, tapi dipecat dari Angkatan Laut pada 27 Maret 1927.
Lawi pulang ke Pekalongan karena gak boleh lagi tinggal di Surabaya. Setelah kembali ke Pekalongan saat puasa dan lebaran 1927, dia bergabung dengan Muhammadiyah pada bulan Mei. Sebagai mantan militer, Lawi dipercaya mengurus kepanduan Hizbul Wathan (HW) Pekalongan. Saat itu, PNI cabang Pekalongan diketuai Notonindito.
“Saya waktu itu masih dalam pengawasan polisi. Saya tidak langsung masuk PNI. Kalau saya tidak masuk Muhammadiyah dan saya tidak lepas dari pengawasan polisi, nanti PNI dituduh jadi penerus Sarekat Rakyat. Ini harus dihindari,” kata Lawi dalam pengakuannya kepada Anton Lucas.
Lawi akhirnya bergabung dengan PNI yang dipimpin Ir Sukarno. Setelah Lawi masuk, Notonindito dianggap dekat dengan Belanda dan tidak dipercaya lagi sebagai ketua PNI Pekalongan. Lawi kemudian menggantikannya sebagai ketua cabang PNI Pekalongan pada 1928.
Namun, PNI tidak bertahan lama karena dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Sukarno bahkan ditahan. Lawi sendiri ditangkap polisi pada 1929, tapi cepat dibebaskan.
Setelah PNI bubar, pada 1931, mantan anggota PNI membentuk Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin Mr. Sartono. Lawi bergabung dan jadi ketua cabang Pekalongan. Tapi Partindo juga dibubarkan pada 1934.
Sebelum Partindo dibubarkan, di tahun 1933, Lawi ditangkap setelah Pemberontakan Kapal Tujuh atau Zeven Provincien karena dicurigai terlibat.
Selama masa menjadi pengikut Sukarno, Lawi dikenal dengan nama depan Kromo (Kr), sehingga dikenal sebagai Kromo Lawi.
Sekitar 1937, Kromo Lawi –yang mendapatkan nama depan Kromo semasa menjadi pengikut Bung Karno– bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dan jadi ketua di Pekalongan. Pada 1938, Kromo Lawi juga jadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Pekalongan dan aktif menggalang adanya Indonesia Berparlemen dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Setelah masa pendudukan Jepang di Pekalongan, Kromo Lawi aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan setelah Indonesia diproklamasikan tahun 1945. Setelah Indonesia merdeka, dia jadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Pekalongan dan kemudian memimpin PNI lagi di Pekalongan.